Jumat 30 Apr 2021 05:06 WIB

Pemikiran Alternatif Ahmet Kuru Terkait Stigma pada Islam

Kuru menyatakan bahwa kekerasan adalah masalah umum umat manusia.

Red: Muhammad Fakhruddin
Pemikiran Alternatif Ahmet Kuru Terkait Stigma pada Islam
Foto:

Pada bagian yang lain, Kuru juga mengatakan romantisme hubungan antara ulama dan negara juga turut berperan dan bertanggung jawab atas terjadinya permasalahan utama dunia Muslim, yang menyebabkan dunia Muslim mengalami ketertinggalan serta menguatkan sendi-sendi otoriterisme. Jadi, meskipun Kuru tidak membantah secara eksplisit dampak negatif dari kolonialisme Barat, akan tetapi fakta yang bisa dilihat sekarang adalah kemunduran dunia Muslim memang sudah terjadi sejak dahulu, atau lebih tepatnya pada abad ke-11.

Faktor selanjutnya yang disebut oleh Kuru turut bertanggung-jawab dalam kemunduran serta tumbuh-kembangnya Islam adalah karena “otoritarianisme negara”. Dari sekian banyak negara yang mayoritas penduduknya Muslim, kebanyakan atau bahkan rata-rata dari mereka baru meraih kemerdekaanya.

Mereka mendapat kemerdekaan dari kolonialisme pada pertengahan abad ke-20, dan ketika membentuk negara, baik berbentuk Republik atau Kerajaan, banyak yang jatuh menjadi “rezim otoriter”. Dalam sepanjang sejarahnya, Kuru menuturkan bahwa otoritarianisme pada negeri-negeri Muslim, apakah sistem negara mereka sekuler, Republik atau Islami ternyata melahirkan banyak konflik sipil, bahkan berujung pada tindakan terorisme.

Dari ketiga faktor di atas, tentu saja, ada banyak bentuk-bentuk lain yang dapat mengelaborasi terkait pertanyaan mengapa kaum Muslim sepanjang dua abad terakhir selalu tertinggal, kurang damai, kurang demokratis serta berada jauh di bawah negeri-negeri lain yang sudah melesat dan lebih maju. Ahmet T. Kuru hanya ingin berfokus pada ketiga faktor di atas: konservatisme religius yang dilakukan oleh elit Islam, otoritarianisme, dan radikalisme.

Ketiga faktor inilah yang dengan segala konsekuensi logisnya dapat berakibat dan menyebabkan kaum Muslim sulit dalam mengembangkan pendidikan yang kaya akan metodologi, kreativitas dan nalar yang lebih inklusif, keberanian untuk menyampaikan argumen, penerimaan terhadap realitas yang heterogen dan seterusnya.

Jika jeli dalam melihat fenomena yang terjadi di Indonesia, maka dengan sendirinya kita akan sadar bahwa negara ini telah mengalami ketiga fase tersebut secara bersamaan dan masih berlanjut sampai dengan sekarang. Sebagai contoh, terutama terkait romantisme antara otoritas ulama dan negara kelihatannya sangat sulit untuk dipisahkan.

Negara selalu membutuhkan peran ulama di dalam menjaga ideologi negara (Pancasila), stabilitas politik, serta pembangunan nasional, apalagi ketika negara dihadapkan dengan suatu kelompok elit agama dan para pengikut mereka yang konservatif yang selalu ingin membenturkan antara ajaran Islam dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Artinya romantisme antara otoritas ulama dan negara, yang terjadi di Indonesia cukup sulit dan kompleks untuk dihilangkan. Inilah problem yang cukup riskan.

Sebagai langkah solutifnya, banyak preskripsi yang dapat ditempuh untuk mengakhiri problem turun-temurun; kekerasan, otoritarianisme, dan ketertinggalan di dunia Muslim. Preskripsi tersebut adalah hanya bisa ditempuh dengan satu cara, yaitu menumbuhsuburkan lahirnya kaum intelektual yang kaya perspektif, metodologi, dan memiliki kreativitas serta keahlian yang kompeten dalam segala bidangnya. Ketika kaum intelektual tersebut telah lahir dan tersebar disegala tempat, maka kekuasaan serta romantisme hubungan antara ulama dan otoritas negara yang menyebabkan dunia Islam tertinggal akan segera lenyap dan hilang dengan sendirinya.  

*(Kandidat Master of Arts, Pascasarjana CRCS UGM)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement